BGS vs PURBAYA ; ANTARA KEKALUTAN DAN KEPERCAYAAN

Japiknews,Jakarta – Menarik melihat dan mencermati dua figur menteri dalam kabinet Prabowo— Budi Gunadi Sadikin (BGS) dan Purbaya. Sama-sama lulusan Institut Teknologi Bandung, sama-sama berakar dari dunia ekonomi, namun menapaki jalur berbeda.

Purbaya, dengan gaya tenang dan kecerdasan intelektual dan komunikatifnya, berhasil memadukan rasionalitas ekonomi dengan empati sosial. Ia pro-rakyat, bukan pro oligarki. Ia bukan hanya mengatur angka dan grafik, tetapi juga memahami denyut nadi rakyat kecil. Di tangannya, ekonomi kerakyatan mendapat ruang hidup. Ia tidak bicara soal pertumbuhan semata, tapi juga pemerataan dan keberpihakan. Tak heran, namanya terus melambung di mata publik — simbol menteri yang cerdas, santun, dan berpihak.

Sebaliknya, BGS justru menimbulkan gelombang keresahan di sektor kesehatan. Langkah-langkahnya, yang teknokratis dan arogan, justru menciptakan jarak antara kebijakan dan kemanusiaan. Ia mengelola kesehatan dengan logika korporasi — keuntungan materi diutamakan, humanisme dikorbankan. Ia sibuk menjadikan dokter dan fasilitas kesehatan sebagai satuan bernilai ekonomi. Kualitas kesehatan adalah kualitas ekonomi. Kebijakan-kebijakan yang seharusnya memperkuat tenaga medis justru melahirkan kekecewaan dan perlawanan dari mereka yang bekerja di garis depan.

Kesehatan seharusnya bukan industri. Ia adalah ruang pelayanan, tempat negara hadir dengan hati. Namun di bawah BGS, sektor ini seolah kehilangan ruhnya. Banyak yang merasa arah kebijakan kini lebih menguntungkan sistem dan struktur oligarki; bukan manusia yang menjadi inti dari sistem itu sendiri.

Dalam konteks pemerintahan Prabowo, yang mengusung semangat keberpihakan dan kedaulatan rakyat, kehadiran sosok seperti BGS terasa janggal. Visi dan gaya kepemimpinannya tidak sejalan dengan arah Prabowo yang ingin membumikan keberpihakan negara pada rakyat banyak.

Kekalutan demi kekalutan mulai terlihat. Kebijakan berubah menjadi polemik, bukan solusi. Dunia medis, yang seharusnya menjadi mitra, justru berjarak. Dan ketika jarak itu semakin lebar, yang dirugikan bukan sekadar profesi, tapi rakyat yang kehilangan jaminan pelayanan publik yang bermartabat.

Saatnya evaluasi dilakukan dengan jujur dan tegas. Sebab kementerian kesehatan bukan ruang eksperimen ideologi ekonomi, melainkan jantung dari pelayanan sosial bangsa. Bila arah sudah melenceng, pemimpin sejati harus berani merapikan barisan — termasuk mengganti mereka yang tidak sejalan dengan visi kerakyatan.

Negara butuh Menteri Kesehatan yang hadir dengan hati, bukan kalkulasi. Yang memimpin dengan empati, bukan ego teknokratik. Dan pada titik inilah, perbedaan antara BGS dan Purbaya menjadi cermin jelas: satu membangun kepercayaan, satu menimbulkan kebingungan dan kekalutan.

Tulisan Dikutip Dari Iqbal Muhtar

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *