Japiknews.com – Jakarta – Kasus gugatan Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman terhadap PT Tempo Inti Media Tbk sebesar Rp200 miliar atas pemberitaan “Poles-poles Beras Busuk” bukan sekadar sengketa hukum. Ini adalah perang narasi antara elit media yang merasa memonopoli kebenaran dengan suara 160 juta petani yang selama ini diremehkan.
Tempo, simbol premedianisme – gaya jurnalisme yang mengaku netral tapi sejatinya menjunjung standar asing dan mengabaikan realitas lapangan – kini berhadapan dengan gelombang baru: buzzer petani, gerakan digital organik yang lahir dari sawah, kantor penyuluh, dan barisan pegawai yang sehari-hari bekerja untuk ketahanan pangan bangsa.
Mereka bukan bayaran, bukan robot. Mereka adalah pegawai, penyuluh, dan petani yang tidak terima kerja kerasnya dinarasikan “busuk” dan direndahkan. Mereka tahu betul betapa beratnya menanam, memupuk, dan menjaga harga pangan tetap stabil. Karena itu, ketika hasil kerja mereka difitnah, mereka bersuara. Mereka mendukung Menteri Pertanian Amran Sulaiman yang selama ini berdiri di depan, bekerja nyata membela petani dan memperkuat kedaulatan pangan.
Pemberitaan Tempo edisi 16 Mei 2025 itu jelas bukan jurnalisme investigatif. Ia sensasional, memelintir fakta menjadi drama. Judul “Poles-poles Beras Busuk” dan unggahan di media sosial Tempo menggiring publik pada kesimpulan menyesatkan: seolah pemerintah sengaja menipu rakyat dengan menjual beras rusak. Faktanya, data BPS dan laporan Bulog menunjukkan stok aman, harga stabil di bawah HET, dan produksi meningkat berkat kebijakan pupuk serta intensifikasi lahan. Tapi Tempo memilih diksi “busuk” – bukan untuk kebenaran, melainkan untuk klik dan sensasi.
Hasil Penilaian dan Pemeriksaan (PPR) Dewan Pers sejatinya sudah cukup jelas: Tempo melanggar Kode Etik Jurnalistik. Tempo terlibat aktif dalam setiap tahap klarifikasi, namun alih-alih menghargai forum etik yang independen, PPR dilaksanakan sesukanya.
Empat dari lima poin rekomendasi memang dijalankan, termasuk permintaan maaf. Tapi apa arti permintaan maaf itu jika hanya ditujukan kepada satu orang—Wahyu—sementara luka yang ditimbulkan menyentuh hati para pegawai Kementan dan 160 juta petani di seluruh Indonesia? Tempo bersalah bukan pada individu, tapi pada nurani kolektif rakyat kecil yang hidupnya bergantung pada tanah.
Tempo memperlakukan mekanisme etik seolah mainan redaksi: ketika ditegur, mereka pura-pura tunduk; ketika sorotan reda, mereka kembali mengulang pelanggaran yang sama. Maka wajar bila gugatan Rp200 miliar ini menjadi simbol perlawanan – bukan terhadap pers, tapi terhadap premedianisme yang menganggap dirinya kebal dari tanggung jawab.
Ini bukan kali pertama. Tahun 2019, Tempo juga dilaporkan atas berita serupa. Polanya sama: narasi sensasional, framing negatif, dan target yang sama. Citra pertanian dilukai, semangat petani dilemahkan, dan kepercayaan publik diguncang.
Kini, buzzer petani tampil sebagai kekuatan tandingan yang bermartabat. Mereka tidak menyerang dengan fitnah, tetapi dengan data, fakta, dan kesaksian lapangan. Mereka melawan bukan demi jabatan, tapi demi kehormatan profesi dan masa depan pangan bangsa.
Fenomena ini menandai pergeseran besar: dari dominasi premedianisme menuju demokratisasi informasi. Buzzer petani adalah simbol kebangkitan kesadaran rakyat desa yang menolak ditundukkan oleh opini elite. Mereka tidak melawan pers, tapi melawan penyalahgunaan kebebasan pers yang merendahkan perjuangan petani.
Sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menjadi medan ujian: apakah Tempo siap bertanggung jawab dan menegakkan etikanya sendiri, atau terus berlindung di balik jargon “kemerdekaan pers”?
Kini, buzzer petani memilih perang total – bukan dengan fitnah, tapi dengan fakta. Setiap tulisan, meme, video, setiap unggahan penyuluh, setiap klarifikasi dari lapangan adalah peluru digital melawan kesewenang-wenangan narasi.
Karena hari ini, 160 juta petani tak lagi diam di pematang. Mereka bersuara di timeline, menulis dari sawah, dan melawan dari layar ponsel.
Mendukung buzzer petani bukan berarti anti-pers. Ini tentang keadilan dan kehormatan. Sebab bila narasi busuk dibiarkan, yang busuk bukan berasnya – melainkan masa depan pangan bangsa.
#BuzzerPetaniLawanTempo #DukungMentanAmran #KeadilanBagi160Juta
Penulis: Kuro Sumargo (Penggiat Media Sosial – Kini juga Buzzer Petani)






