Bela 160 Juta Petani, Mentan Amran Dikeroyok Tempo dan AJI

Japiknews.com –  Jakarta – Ketika Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman memutuskan menggugat Tempo ke pengadilan dengan nilai Rp200 miliar, banyak yang terkejut. Tapi lebih banyak lagi yang seolah pura-pura tidak paham: bahwa gugatan itu bukan untuk membungkam media, melainkan untuk membela harga diri 160 juta petani Indonesia yang telah dihina dengan visual, dikriminalisasi dengan narasi, dan dipermalukan di ruang publik oleh media yang seharusnya menjadi penjaga kebenaran.

Tempo dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) segera membalas dengan narasi: “kebebasan pers terancam”, “pembreidelan”, dan “upaya membungkam media”. Narasi lama yang selalu diulang setiap kali media besar dikoreksi. Padahal, faktanya sederhana — Dewan Pers sudah memutuskan bahwa Tempo bersalah secara etik dalam pemberitaan “Poles-Poles Beras Busuk”.

Putusan Penilaian dan Penanganan Pengaduan (PPR) Dewan Pers menyatakan, Tempo tidak akurat, melebih-lebihkan, dan melanggar Kode Etik Jurnalistik. Namun yang terjadi justru ironis: Tempo mengklaim sudah melaksanakan putusan Dewan Pers, padahal pelaksanaannya tidak sesuai rekomendasi. Saat Kementerian Pertanian meminta klarifikasi, mereka malah memutar isu, menuduh pemerintah mengekang pers.

Maka gugatan ini bukan sekadar tuntutan hukum. Ia adalah ujian kebenaran dan keadilan.
Amran tidak sedang menggugat media — ia sedang menggugat kebohongan. Ia tidak sedang menyerang jurnalis — ia sedang mempertahankan marwah petani, pegawai lapangan, dan seluruh insan pertanian yang bekerja siang malam untuk memastikan rakyat tidak kekurangan pangan.

Bayangkan, di tengah capaian besar sektor pertanian — produksi beras meningkat menjadi 34,77 juta ton menurut BPS 2025, stok beras pemerintah mencapai lebih dari 4 juta ton, tertinggi sepanjang sejarah — muncul sebuah infografis dengan gambar karung beras berlubang penuh kecoa, diberi judul “Poles-Poles Beras Busuk”.

Gambar itu disebarkan luas, tanpa klarifikasi, tanpa rasa tanggung jawab. Padahal, dampaknya luar biasa: moral petani terpukul, citra sektor pangan tercoreng, dan kerja keras aparat lapangan dianggap sia-sia. Semua demi sensasi dan framing.

Pertanyaannya: di mana letak kebebasan pers jika digunakan untuk menginjak kebenaran?
Dan mengapa ketika masyarakat — termasuk pejabat publik — menuntut akuntabilitas, malah disebut membredel?

AJI seharusnya menjadi pagar etik bagi profesi jurnalis, bukan tameng bagi media yang sudah berkali-kali melanggar etik. Ketika AJI turun ke jalan membela media yang salah secara etik, mereka bukan sedang membela kebebasan pers — mereka sedang membela kesalahan.

Publik berhak bertanya:
Apakah kebebasan pers berarti kebal terhadap koreksi?
Apakah media besar boleh melanggar etik sesuka hati, lalu berlindung di balik jargon kebebasan?

Menteri Pertanian Amran memang bukan malaikat, tapi dalam hal ini ia berdiri di sisi yang benar — membela kehormatan petani, membela kebenaran data, membela marwah bangsa.

Ia memilih jalur hukum, bukan kekuasaan. Ia menempuh mekanisme yang sah, bukan ancaman. Dan justru karena itu, ia layak didukung.

Pers yang benar tidak takut diuji. Tapi pers yang salah selalu takut diperiksa.
Dan di situlah publik bisa melihat, siapa sebenarnya yang sedang mencari kebenaran, dan siapa yang sedang menyembunyikannya.

Maka, kalau gugatan Mentan Amran disebut sebagai “pembreidelan”, mari jujur: siapa yang membungkam siapa?
Apakah pemerintah yang menempuh hukum, atau media yang menolak tanggung jawab?

Kebenaran tidak bisa dibungkam. Dan kebenaran tidak pernah takut diuji.
Yang takut diuji hanyalah mereka yang menyembunyikan kebohongan di balik kata “kebebasan”.

Di kutip dari Oleh: Andreas – Pengamat Media dan Komunikasi Publik

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *