DI ANTARA DETAK JANTUNG DAN DENTUMAN RUDAL

Japiknews.com – Jakarta

Oleh: dr.Fauzul Azhim MKK / Pengurus Emergency Medical Team Ikatan Dokter Indonesia (EMT-IDI)

Ketika suara perang menggema dari dua kutub dunia, seorang dokter menuliskan catatan sunyi dari ruang kliniknya — tentang nilai hidup, trauma yang tak tampak, dan harapan yang tak boleh padam. Sebuah refleksi dari profesi yang berdiri di garis depan kemanusiaan.

Sebagai seorang dokter, saya belajar satu hal paling hakiki dalam hidup: nyawa manusia adalah sesuatu yang tidak bisa ditukar oleh apa pun. Saya bekerja setiap hari untuk menjaga detak jantung tetap stabil, menyelamatkan napas terakhir, dan memulihkan luka yang terlihat maupun yang tak kasat mata.

Karena dalam dunia medis, kami tidak bertanya siapa pasien kami. Kami hanya bertanya: bagaimana menyelamatkan hidupnya?

Maka ketika saya menyaksikan konflik terbuka antara Israel dan Iran yang terus memanas, rasa cemas dan nyeri sebagai manusia, dan lebih-lebih sebagai dokter, datang begitu kuat. Dentuman roket, korban sipil, anak-anak yang menangis kehilangan orang tuanya — semua itu bukan hanya berita. Itu adalah tragedi yang menampar nurani kemanusiaan kita.

Dalam setiap perang, selalu ada satu yang kalah tanpa syarat: umat manusia itu sendiri. Negara bisa menyatakan menang, pasukan bisa mengklaim wilayah, tapi trauma dan luka batin yang tertinggal tak pernah bisa dibayar. Luka itu menyeberangi generasi.
Perang bukan hanya soal wilayah dan strategi. Perang adalah kegagalan kolektif dalam memilih akal sehat dan kasih sayang. Dan sebagai dokter, saya tahu persis: tidak ada satu pun peluru yang menyembuhkan.

Kita bisa berbeda dalam keyakinan, dalam warna kulit, dalam sejarah. Tapi kita semua sama dalam satu hal: ingin hidup, dan ingin dicintai dalam hidup itu. Maka, betapa ironis ketika kekuasaan, ideologi, dan ketakutan justru menjadi alasan untuk saling membunuh.

dr Fauzul Azhim Bersama dr Nasruddin AM.Mappiware Sp.OG,MARS Dewan Pembina EMT IDI Sulsel dan Ketua Umum PB AFKSI

Saya tidak datang membawa solusi politik. Tapi saya membawa suara kecil dari ruang-ruang klinik yang hening: suara manusia yang ingin perdamaian. Suara anak-anak yang hanya ingin pulang ke rumah tanpa dentuman. Suara ibu yang ingin melihat anaknya tumbuh, bukan terkubur sebelum waktunya.
Perdamaian bukan kelemahan. Justru ia adalah puncak dari kekuatan manusia untuk memilih kehidupan di atas dendam.

Sebagai dokter, saya menyerukan agar para pemimpin dunia, apa pun latar belakangnya, menempatkan hak untuk hidupsebagai nilai tertinggi. Bukan hanya untuk bangsanya sendiri, tapi untuk seluruh umat manusia. Karena tidak ada peradaban yang bisa bertahan jika dibangun di atas reruntuhan nurani.
Di ruang-ruang gawat darurat, kami para dokter belajar bahwa satu detik bisa menyelamatkan satu nyawa. Maka saya percaya, satu keputusan damai pun bisa menyelamatkan satu generasi.
Di tengah eskalasi yang terus meningkat, kita juga menyaksikan bagaimana kedua pihak mulai mencari dukungan dari negara-negara adidaya. Bantuan militer, dukungan diplomatik, dan aliansi strategis dijajaki dengan intensitas tinggi. Namun semakin banyak kekuatan besar yang terlibat, semakin besar pula kemungkinan konflik ini berubah menjadi bencana kemanusiaan berskala luas.

Sebagai dokter, saya hanya bisa berharap bahwa suara nurani tetap terdengar di ruang-ruang negosiasi politik. Karena di balik setiap strategi militer, ada nyawa yang sedang dipertaruhkan.

Saat dunia terus bising oleh kebencian, izinkan profesi saya menjadi pengingat: bahwa di atas politik, di atas perbedaan, yang paling layak kita perjuangkan adalah hidup itu sendiri.
Kita juga harus belajar dari konflik ini — bahwa keterlibatan kekuatan besar dunia, jika tidak dilandasi kepentingan kemanusiaan, justru akan memperkeruh keadaan. Dunia tidak membutuhkan lebih banyak senjata atau blok aliansi. Dunia membutuhkan lebih banyak ruang dialog, lebih banyak rumah sakit daripada gudang senjata, dan lebih banyak pemimpin yang berani memilih perdamaian.

Dan untuk Indonesia, konflik ini seharusnya menjadi cermin bahwa diplomasi yang berpihak pada nilai-nilai kemanusiaan harus terus dijaga. Indonesia memiliki posisi moral untuk berdiri di tengah, menyuarakan keadilan tanpa harus ikut dalam arus politik kekuatan global. Karena dalam menjaga harkat hidup manusia, netralitas bukan kelemahan — ia adalah keberanian moral tertinggi.

(Laporan Muhammad Yusuf)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *