Japiknews.com – Makassar – Kisah dokter hisbullah yang menangani salah satu pasien diruangan ICU Rumah sakit, Berikut tulisan dokter hisbullah dari foto ini adalah monitor dari salah satu pasien saya di ICU.

Buat Bapak/Ibu yg non medis saya jelaskan yang angka 136 itu adalah denyut jantungnya. Nilai normal denyut jantung adalah antara 60-80 x/menit maksimal 100 x/menit. Jika lebih dari 100 disebut takikradi artinya pasien ini mengalami takikradi yang angka 40 itu adalah laju napas. Nilai normal laju napas orang dewasa adalah berkisar 12-20 x/menit. Maksimal yg bisa ditoleransi adalah 35 x/menit dan jika lebih dari itu otot napas pasien jadi lelah dan lama lama gagal napas.
Yang angka 63 itu adalah saturasi oksigen. Nilai normalnya adalah antara 95-100 %. Jika yg baca status ini diukur saturasinya maka akan tertera 95 sampai 100 %, itu tanpa bantuan oksigen loh. Jika ternyata saturasi anda dibawah 90 % maka cepat cepat pergi ke RS barangkali anda perlu dirawat.
Nah pada pasien ini sdh menggunakan oksigen masker berkantong dgn flow 15 ltr/menit. Artinya dengan pemberian oksigen dgn kadar 100 % pun saturasinya masih jauh dibawah normal. Maka bisa dipastikan pasien ini mengalami kekurangan oksigen di dalam darahnya atau yang di dunia kedokteran lazim disebut dengan hipoksia dan diagnosis klinisnya adalah gagal napas tipe 1 atau gagal napas kausa hipoksia.
Dokter Hisbullah menjelaskan tentang penyakit dasar pasien ini Dua hari lalu pasien laki2 usia 48 tahun masuk ke IGD dgn keluhan sesak dan bicara mulai ngaco.Setelah di tanyakan riwayat penyakit atau lazim kami sebut anamnesis: dua hari sebelum masuk rumah sakit pasien mengeluh demam dan batuk batuk,
Rupanya pasien ini baru datang dari jakarta menghadiri acara pernikahan keluarganya. Istri dan anaknya ikut demam. Saat ini istri dirawat di ruang perawatan biasa karena hanya mengeluh demam dan batuk sementara anaknya cukup isolasi mandiri di rumah.
Pada pemeriksaan fisis di UGD Tensi:100/70, denyut nadi 125x/menit, pernapasan 35x/menit dan suhu 38.9. Terdengar suara napas tambahan berupa ronchi yg diffus seluruh paru.Dilakukan pemeriksaan foto thoraks hasilnya: pneumoni bilateral. Dilakukan CT-Scan thoraks juga menunjukkan lesi yg sangat luas.Hasil pemeriksaan Swab antigen hasilnya reaktif.
Hasil Swab PCR hasil satu hari kemudian menunjukkan Positif Covid-19.
Dilakukan pemeriksaan analisa gas darah hasilnya: ph: 7.46, PCO2:30, PaO2: 46, HCO3:20, Sa02:79%.
Diagnosis saat ini di ICU adalah: Gagal napas tipe 1 (Hipoksemia) + Peneumoni bilateral + Terkonfirmasi positif Covid-19.
Diagnosis bisa bertambah jika misalnya sdh diperiksa gula darah, kimia darah, koagulasi, pemeriksaan jantung dll. Diagnosis lainnya tergantung comorbid pada pasien dan terapi akan disesuaikan dengan diagnosis yg ada.
Rencana tindakan selanjutnya adalah intubasi dan pasang ventilator jika keluarga setuju.
Pasien dirawat di ICU Isolasi.
Apa yg ingin saya jelaskan masih banyak terkait alur pemeriksaan pasien sampai dinyatakan positif covid-19, terkait pilihan terapi yg rasional yg sesuai guide line, terkait keterbatasan ICU, terkait persetujuan pasien dan persepsi masyarakat
Sejak pandemi ini muncul tahun lalu, banyak sekali persepsi dan kontroversi yg muncul terkait pengananan pasien Covid-19 di RS dan penanganan pandemi di masyarakat. Banyak sekali istilah yg muncul seperti “pasien sengaja dikopitkan”, “bisnis dibalik pandemi”, “covid tidak berbahaya”, “tidak ada covid” bahkan belakangan ada dokter yg menyatakan virus covid-19 itu tidak ada, penyebab kematian pasien yg terdiagnosis covid di RS bukan karena virus covid tapi karena interaksi obat. Tentunya saya tidak akan menjawab segala macam stetement itu disamping terlalu panjang dan sudah banyak dibahas oleh pakarnya.
Yg perlu saya jelaskan terkait pasien saya ini adalah:
1. Untuk sampai ke diagnosis saya tadi, telah melalui prosedur diagnostik yg berjenjang, runut dan sistematis. Tdk ada orang yg datang lalu ujuk2 divonis covid. Yg melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis adalah satu dokter, lalu dikonsul ke ahli radiologi, jawabnya Peneumoni, dikonsul ke lab dinyatakan reaktif dan dikirim swab ke luar RS di lab khusus: jawabnya positif. Jadi bisa saya jelaskan paling sedikit ada 5 dokter yg terlibat yaitu dr umum di UGD, dr. Spesialis Paru, spesialis radiologi, spesialis patologi klinik di RS dan spesialis PK lainnya di lab PCR dan terakhir spesialis anestesi seperti saya jika di rawat di ICU. Bisa nambah spesialis lain jika ada penyakit lain atau komorbid. Apakah 5 orang dokter ini bisa kompak ngarang? tdk mungkin lah. Mereka akan menyatakan apa adanya sesuai dgn keilmuannya.
2. Karena pasien jelas gagal napas maka tdk ada pilihan lain kecuali pasang ventilator. Pada titik ini perlu persetujuan keluarga karena ini tindakan medik yg penuh resiko. Umumnya pasien menolak termasuk keluarganya. Banyak sekali pertimbangan tanya sana sini akhirnya pasien mengalami perburukan. Mereka minta dioptimalkan aja dulu sambil menunggu sapa tahu ada keajaiban.
Ada anggapan kalau diventilator kebanyakan pasien mati, bahkan ada orang yg terang2an bilang di medsos bahwa pasien mati justru karena ventilatornya.
Dalam kondisi seperti ini saya berani bilang kalau dibiarkan tanpa ventilator 100 % pasien akan meninggal tapi kalau diventilator peluangnya tidak nol persen untuk hidup.
Keluarga pasien selalu bertanya apakah jika diventilator pasien akan membaik? apakah dia akan sembuh ?. Duh bapak ibu pasti tidak ada dokter yang bisa menjamin apalagi dengan kondisi yang buruk seperti itu. Kalau tidak ditindaki artinya kita pasrah dan membiarkan dia mati tapi kalau kita tindaki ada harapan meskipun sangat kecil.
Keputusan untuk segera memasang ventilator pada pasien seperti ini akan menentukan prognosis. Pasien pasien yang akhirnya meninggal mungkin karena sudah gagal organ dan sangat telambat atau paru parunya memang sudah rusak.
Jika pasien kayak gini meninggal biasanya ditulis meninggal disebabkan gagal napas ec. Covid-19. Gambaran lengkap atau patofiologinya: virus covid-19 menyerang paru sehingga oksigen sulit melintasi paru. Akibatnya kadar oksigen di daerah sangat rendah. Oksigen yg sangat minim ini pun bisa terhambat hantarannya ke jaringan bila darah mengental atau ada kerusakan di pembuluh darah. Oksigen adalah sumber kehidupan jadi jika kekurangan oksigen lama lama organ akan mati. Jadi cukup sederhana untuk menjelaskan bahwa virus covid menyebabkan kematian.
2. Dimana mana ventilator sangat terbatas khususnya di ICU isolasi. Untung masih ada 1 ventilator yg sisa untuk pasien ini. Sementara ada 2 pasien yg kini pake Hight Flow nasal canul yg harus stand by ventilator setiap saat bisa pasang ventilator. Saat menulis status ini saya pusing bagaimana kalau ada pasien baru di UGD yg tiba tiba datang dengan kondisi gagal napas seperti ini?. Dimana diambilkan ventilator?. Sebagai tambahan informasi bahwa di dua RS lainnya tempat saya praktek di ICU Isolasinya sudah penuh, bahkan sudah memakai ekstra bed. Saat persiapan intubasi barusan saya di telpon oleh keluarga bahwa ada orang tuanya di UGD yg harus intubasi tapi bed ICU Isolasi penuh dan ventilator sudah terpakai semua. Suatu ironi buat saya keluarga sendiri tidak bisa di tolong padahal di Rumah Sakit tempat kerja.
3. Sudah lebih setahun saya bergelut dengan pasien seperti ini. Sudah tidak terhitung pasien positif yg pernah ku intubasi. Jangan tanya yah seperti apa prosedur intubasi itu, bagaimana proses menyedot lendirnya belum lagi kalau akhirnya pasien di pijat jantung. Saya tidak tahu sampai kapan saya bisa bertahan. Sulit rasanya untuk sayaselalu menjaga diri dari kemungkinan terinfeksi dan bernasib sama dengan pasien ini saat mana pekerjaan saya menuntut jarak wajah saya dengan mulut pasien yg terbuka lebar hanya sejengkal bahkan wajah bisa sampai hampir menyentuh bibir pasien. Ini bukan keluhan, curhat atau rencana mengibarkan bendera putih tapi harapan kepada kita semua bahwa pencegahan penularan, pemutusan mata rantai penularan harus senantiasa di upayakan. Jaga imun, jaga kesehatan dan lakukan imunisasi. Saat ini semua sudah serba terbatas, sarana terbatas, tenaga terbatas, alkes dan obat serba mahal dan mulai langka sementara kasus yg berat seperti ini terus meningkat.
Akhirnya harapan dokter spesialis Anastesi Konsultan ICU mari kita berdoa bersama semoga kita semua sehat, tidak terinfeksi bisa melewati pandemi ini dengan selamat ucap dokter Hisbullah
dr. Hisbullah
Spesialis Anestesi
Konsultan ICU
(Dikutip halaman FB)
(Editor : Muhammad Yusuf)